Art VS Economy

Suatu sore. Sore yang menawan. Hanya langit yang teduh dan udara yang terasa ringan. Seusai Ujian Akhir Semester (UAS) Mata kuliah Statistika Ekonomi, mahasiswa-mahasiswi semester IV Program Studi Pendidikan Tata Niaga berhamburan keluar gedung ADM Universitas Negeri Jakarta dengan wajah kusut. Masih terngiang dibenak kami bagaimana kemelutnya soal-soal yang kami kerjakan tadi. Begitu pula aku, hanya mampu mengerjakan setidaknya empat soal dari lima. Sempat mencoba untuk merampungkannya, namun Bu Dosen telah lebih menghitung mundur angka 10-1, sehingga tunggang-langganglah perhitungan dan konsentrasiku. Satu-satunya yang terpikir adalah bagaimana caranya kertas ini terkumpul, tidak terfokus apakah sudah benar semua atau belum. Ya, setidaknya aku sudah berusaha. Semoga Tuhan berbaik hati dan memberikan takdir yang indah pula, dengan memberiku nilai Statistika Ekonomi yang memuaskan nantinya di lembar Kartu Hasil Studi. Amiin.

Andai aku masuk jurusan Seni. Seni Rupa khususnya, atau Bahasa Indonesia juga tak apa. Yang penting bukan Fakultas Ekonomi maupun MIPA. Kurasa, di jurusan yang aku inginkan tersebut aku bisa lebih enjoy menjalankannya. Bisa dibayangkan betapa bahagianya bila aku masuk jurusan Seni, tidak ada Matematika Ekonomi, Statistika yang mudah (bukan Statistika Ekonomi serta tidak ada Ilmu Ekonomi 1-2 yang membuat aku merasa gila dengan kurva-kurva maupun diagram-diagram keparatnya). Terlebih, Seni itu tidak ternilai. Kurasa dosen tidak sembarangan menilai karya-ku yang memang terlihat buruk. Tapi di Ekonomi? Semuanya serba dihitung, mendetail, bahkan ada beberapa mata kuliah yang sama sekali tidak memerlukan nalar a.k.a teks book! Nah, inilah yang paling tidak kusuka. Dimana letak kreatifitas mahasiswa jika masih menggunakan metode penilaian yang masih kuno? Bahkan tak jarang soal-soalnya pun warisan dari kakak-kakak kelas terdahulu. Entah dosennya yang kurang kreatif atau terlalu sibuk sehingga tak punya waktu untuk memperbaharui soal.

Oh Seni Rupa. Janganlah menjadi impianku yang mungkin sebentar lagi akan hilang. Terkikis oleh kurva-kurva, neraca, maupun diagram memuakkan itu. Betapa teganya Adam Smith, Abraham Masslow, hingga Steven P. Robinson menggantikan posisi seniman-seniman idolaku seperti Leonardo Da Vinci, Pablo Picasso, Affandi, ataupun sastrawan W.S Rendra, Kahlil Gibran, penulis Gol A Gong, Habibburrahman L. Shirazy, Asma Nadia, Putu Wijaya dan sang poetry bersuara emas Bang Zarry Hendrik. Aku bahkan lebih mengenal seniman maupun penulis ketimbang tokoh Ekonomi. Terlalu.

Beberapa sahabat dan rekan-rekanku menganggap aku ini tidak begitu malang karena menurut mereka, meskipun aku masuk jurusan Ekonomi setidaknya masih bisa berkarya. Ketika bosan dan pikiran semrawut dengan soal-soal Ekonomi, setidaknya aku bisa menyegarkan kembali otakku dengan melukis, maupun membuat cerita. Dan satu hal lagi, terkadang Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi memberikan apa yang kita butuhkan. Buktinya, di Ekonomi nilai ku baik-baik saja. Indeks Prestasi selalu di atas 3, bahkan untuk dua semester terakhir aku mampu mempertahankan IP diatas 3.5. Tentunya kerja keraslah yang mampu membuat aku bertahan di Ekonomi. Lambat laun aku mulai menjalani ritmenya. Melukis ketika banyak ide, dan menggunakan ilmu Ekonomi dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan yang kompleks. Ide dan Ilmu yang aku dapat berjalan seimbang. Menyenangkan bukan? ~

Salah satu impian terbesarku adalah bagaimana menggabungkan keduanya, antara Seni dan Ekonomi. Art versus Economy. Faktanya, harga suatu lukisan yang bernilai tinggi mencapai ratusan juta bahkan miliyaran. Sempat terlintas dalam pikiranku, mengapa tidak kuaplikasikan dengan hobby dan ilmu yang aku dapat di bangku perkuliahan? Dengan melukis dan mengaplikasikan pembelajaran yang kudapat seperti Perdagangan Luar Negeri, Negosiasi, Manajemen Pemasaran baik Produk, Pariwisata maupun Jasa, serta Komunikasi Bisnis baik satu Culture maupun Different Culture. Dengan begitu, akan lebih maksimal bukan dalam dalam menggapai impian menjadi seniman hebat dengan relasi di seluruh dunia? Hehe.

Tapi jangan dianggap serius. Karena pada dasarnya sadar maupun tak sadar, suatu seni yang indah itu dibuat dengan kemurnian yang tulus, ikhlas, dengan perasaan non materialistis. Seni dan materi tidak berjalan sinkron menurutku. Bukan seniman sejati namanya, jika menghasilkan karya hanya ingin dihargai, dipuji, bahkan berniat menjadi kaya. Tapi berkaryalah dari buah pemikiran yang jernih, semata-mata ingin mengekpresikan kekuasaan Tuhan, mengapresiasi perasaan, melukislah dengan bahagia, berkarya dengan hati, dengan rasa.

Oke, kembali ke harapan awalku. Semoga nilai UAS Statistika Ekonomiku baik-baik saja, memuaskan, dan membuatku terlena.(">)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar